Cari Blog Ini

Minggu, 29 Januari 2012

Biosensor dan Aplikasinya


Di abad milenium ini, segala sesuatu yang serba praktis dan mudah serta ditunjang oleh manfaatnya yang besar, pastilah di cari oleh setiap orang. Salah satunya adalah sensor. Aplikasi sensor yang paling sering kita jumpai adalah pintu otomatis yang terdapat di pusat-pusat perbelanjaan. Pintu akan terbuka dan tertutup secara otomatis apabila ada orang yang lewat. Contoh lainnya adalah detektor logam yang terdapat pada bandara udara, ataupun detektor asap yang terdapat dalam perkantoran.

Secara umum, sensor sebenarnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika lebih kepada kemampuannya untuk mendeteksi kondisi besaran fisika seperti tekanan, gaya, tinggi permukaan air laut, kecepatan angin, dan sebagainya. Sedangkan sensor kimia merupakan alat yang mampu mendeteksi fenomena kimia seperti komposisi gas, kadar keasaman, susunan zat suatu bahan makanan, dan sebagainya. Termasuk ke dalam sensor kimia ini adalah biosensor. Dewasa ini, biosensor telah banyak diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti dan industri, dan dalam dunia biosensor research, topik yang sedang berkembang sekarang ini adalah biosensor yang berbasis DNA (genosensor).

Biosensor
Biosensor sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang disebut molekul sasaran. Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas, arus listrik, potensial listrik atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran tersebut kemudian diproses sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti.
Biosensor yang pertama kali dibuat adalah sensor yang menggunakan transduser elektrokimia yaitu elektroda enzim untuk menentukan kadar glukosa dengan metode amperometri. Sejauh ini, biosensor dalam perkembangannya mempunyai tiga generasi yaitu generasi pertama; dimana biosensor berbasis oksigen, generasi kedua; biosensor menjadi lebih spesifik yang melibatkan “mediator” diantara reaksi dan transduser, dan terakhir generasi ketiga; dimana biosensor berbasis enzyme coupling.
Untuk produk-produk komersial dari teknologi biosensor, sekarang ini telah banyak diperjualbelikan. Biosensor eksternal/internal dalam bentuk chip bahkan telah diproduksi oleh perusahaan Amerika i-Stat, MicroChips, Digital Angel, VeriChip yang dapat ditanam dalam tubuh manusia. Beberapa Perusahaan Jepang pun turut berpartisipasi, seperti Matsushita Electric Industrial Co. dengan teknologi biosensornya yang mampu menetapkan secara cepat dan mudah pengukuran kolesterol darah. Tokyo Medical and Dental University dengan biosensor nafasnya yang memanfaatkan enzim monoamine oksidase A (MAO A) dan lain sebagainya. Tetapi secara umum untuk penguna biosensor, hampir 60% pengunanya berasal dari health-care industri.

Prinsip Kerja Biosensor
Pada dasarnya biosensor terdiri dari tiga unsur yaitu unsur biologi (reseptor biologi), transduser, dan sistem elektronik pemroses sinyal. Unsur biologi yang umumnya digunakan dalam mendesain suatu biosensor dapat berupa enzim, organel, jaringan, antibodi, bakteri, jasad renik, dan DNA. Unsur biologi ini biasanya berada dalam bentuk terimmobilisasi pada suatu transduser. Immobilisasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan (1) adsorpsi fisik, (2) dengan menggunakan membran atau perangkap matriks atau (3) dengan membuat ikatan kovalen antara biomolekul dengan transduser.
Untuk transduser, yang banyak digunakan dalam suatu biosensor adalah transduser elektrokimia, optoelektronik, kristal piezoelektronik, field effect transistor dan temistor. Proses yang terjadi dalam transduser dapat berupa calorimetric biosensor, potentiometric biosensor, amperometric biosensor, optical biosensor maupun piezo-electric biosensor. Sinyal yang keluar dari transduser ini kemudian di proses dalam suatu sistem elektronik misalnya recorder atau komputer. 

Berikut adalah contoh skema umum dari biosensor :

 

Gambar 1. Skema Umum Biosensor

Aplikasi Biosensor
Aplikasi biosensor pada dasarnya meningkat seiring dengan berkembangnya keperluan manusia dan kemajuan iptek. Tetapi secara umum tetap didominasi untuk aplikasi dibidang medis dan lingkungan hidup. Beberapa bidang aplikasi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut :
No
Bidang Aplikasi
Kegunaan Biosensor
1.
Medis dan Farmasi
  • Mengontrol penyakit : diabetes, kolesterol, jantung dll
  • Diagnosis untuk : obat, metabolit, enzim, vitamin
  • Penyakit infeksi, alergi.
  • Studi efisiensi obat
2.
Lingkungan Hidup
  • Kontrol polusi
  • Monitoring senyawa-senyawa toksik di udara, air, dan tanah.
  • Penentuan BOD (biological oxygen demand)
3.
Kimia
  • Mengontrol kualitas makanan (mendeteksi kontaminasi mikroba, menentukan kesegaran, analisis lemak, protein dan karbohidrat dalam makanan.
  • Mendeteksi kebocoran, menentukan lokasi deposit minyak.
  • Mengecek kualitas udara di ruangan.
  • Penentuan parameter kualitas pada susu
4.
Pertanian
  • Mengontrol kualitas tanah.
  • Penentuan degradasi seperti biodegradable pada kayu dan makanan.
  • Mendeteksi keberadaan pestisida
5.
Militer
  • Mendeteksi zat-zat kimia dan biologi yang digunakan sebagai senjata perang (senjata kimia/biologi) seperti virus, bakteri patogen, dan gas urat syaraf.


Penutup
Di Indonesia penelitian di bidang biosensor telah berkembang pesat. Tetapi kebanyakan penelitian di bidang ini berhenti pada tahap publikasi ilmiah di jurnal-jurnal atau seminar-seminar. Dan tidak sampai menyentuh tahap paten/aplikasi untuk di komersialisasikan. Hal ini sangat di sayangkan, padahal penelitian para ilmuwan Indonesia sangat aplikatif semisal tentang penelitian pembuatan biosensor untuk mendeteksi kadar alkohol atau daging hewan tertentu pada produk makanan atau minuman, atau penelitian untuk membuat biosensor yang mampu mendeteksi pestisida, serta berbagai penelitian lainnya. Semuanya ini berpotensi untuk dikembangkan.
Secara kualitatif, kebutuhan akan biosensor di Indonesia sangat besar. Dan diperkirakan permintaan biosensor di pasaran dunia akan selalu meningkat tiap tahun. Sebagai perbandingan, data statistik menunjukkan untuk penjualan sensor di bidang non milter saja pada tahun 2008 akan mencapai 50-51 miliar dolar AS. Hal ini dari sisi ekonomis sangat mengiurkan. Sehingga sudah seyogyanya para peneliti dan pemerintah Indonesia memanfaatkan momentum tersebut untuk dapat merintis dan mengembangkan sistem sensor dengan kreatifitas, langkah dan kebijakan yang lebih baik lagi.

Jumat, 20 Januari 2012

Computational Chemistry Shows the Way to Safer Biofuels


ScienceDaily (July 31, 2011) — Replacing gasoline and diesel with plant-based bio fuels is crucial to curb climate change. But there are several ways to transform crops to fuel, and some of the methods result in bio fuels that are harmful to health as well as nature.
Now a study from the University of Copenhagen shows that it is possible to predict just how toxic the fuel will become without producing a single drop. This promises cheaper, faster and above all safer development of alternatives to fossil fuel.
Solvejg Jorgensen is a computational chemist at the Department of Chemistry in Copenhagen. Accounts of her new computational prediction tool are published in acclaimed scientific periodical The Journal of Physical Chemistry A.
Among other things the calculations of the computer chemist show that bio fuels produced by the wrong synthesis path will decompose to compounds such as health hazardous smog, carcinogenic particles and toxic formaldehyde. Previously an assessment of the environmental impact of a given method of production could not be carried out until the fuel had actually been made. Now Jorgensen has shown that various production methods can be tested on the computer. This will almost certainly result in cheaper and safer development of bio fuels.
"There is an almost infinite number of different ways to get to these fuels. We can show the least hazardous avenues to follow and we can do that with a series of calculations that take only days," explains Jorgensen.
Chemically bio fuel is composed of extremely large molecules. As they degrade during combustion and afterwards in the atmosphere they peel of several different compounds. This was no big surprise. That some compounds are more toxic than others did not come as a revelation either but Jorgensen was astonished to learn from her calculations that there is a huge difference in toxicity depending on how the molecules were assembled during production. She was also more than a little pleased that she could calculate very precisely the degradation mechanisms for a bio fuel molecule and do it fast.
"In order to find the best production method a chemist might have to test thousands of different types of synthesis. They just can't wait for a method that takes months to predict the degradation mechanisms," explains Jorgensen who continues: "On the other hand: For a chemist who might spend as much as a year trying to get the synthesis right it would be a disaster if their method leads to a toxic result."
It seems an obvious mission to develop a computational tool that could save thousands of hours in the lab. But Solvejg Jorgensen wasn't really all that interested in bio fuels. What she really wanted to do was to improve existing theoretical models for the degradation of large molecules in the atmosphere.
To this end she needed some physical analysis to compare to her calculations. Colleagues at the Department of Chemistry had just completed the analysis of two bio fuels. One of these would do nicely. But Jorgensen made a mistake. And instead of adding just another piece to a huge puzzle she had laid the foundation for a brand new method.
"I accidentally based my calculations on the wrong molecule, so I had to start over with the right one. This meant I had two different calculations to compare. These should have been almost identical but they were worlds apart. That's when I knew I was on to something important," says Solvejg Jorgensen, who has utilised her intimate knowledge of the theoretical tool density functional theory and the considerable computing power of the University of Copenhagen.
The article is published in The Journal of Physical Chemistry A with the title: Atmospheric Chemistry of Two Biodiesel Model Compounds: Methyl Propionate and Ethyl Acetate.